SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang Di Lazismu Kota Pekalongan
  • 5 tahun yang lalu / Tema versi 1.2 telah dirilis, silahkan update temanya langsung dari Dasbor masing-masing
  • 5 tahun yang lalu / Versi baru WP Masjid segera rilis dengan perubahan tampilan yang cukup signifikan
WAKTU :

Zakat Profesi dalam Hukum Islam

Terbit 20 Februari 2014 | Oleh : Amil Lazismu Kota Pekalongan | Kategori : Uncategorized

sedekah

Zakat Profesi dalam Hukum Islam

Muhandis Azzuhri, Lc. MA

Pendahuluan

Zakat bersinonim dengan sedekah wajib. Dalam Al-Qur’an kata sedekah dalam berbagai bentuk dan derivasinya disebutkan sebanyak 154 kali. Dengan kata lain, zakat adalah sama dengan sedekah wajib (Q.S. At-Taubah:60). Dalam ayat tersebut zakat diungkapkan dengan kata إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ yang artinya adalah zakat. Sebagian ulama fiqh mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

Zakat profesi tergolong jenis baru dalam kategorisasi harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Istilah profesi dalam terminologi Arab tidak ditemukan padanan katanya secara eksplisit. Hal ini terjadi karena bahasa Arab adalah bahasa yang sangat sedikit menyerap bahasa asing. Di negara Arab modern, istilah profesi diterjemahkan dan dipopulerkan dengan dua kosakata bahasa Arab.

Pertama, al-mihnah ((المهنة. Kata ini sering dipakai untuk menunjuk pekerjaan yang lebih mengandalkan kinerja otak. Karena itu, kaum profesional disebut al-mihaniyyun المهنيون  atau ashab al-mihnahأصحاب المهنة . Misalnya, pengacara, penulis, dokter, konsultan hukum, pekerja kantoran, danlain sebagainya.

Kedua, al-hirfahالحرفة . Kata ini lebih sering dipakai untuk menunjuk jenis pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga otot. Misalnya, para pengrajin, tukang pandai besi, tukang jahit pada konveksi, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Mereka disebut ashab al-hirfah أصحاب الحرفة

 

a.      Zakat Profesi di kalangan Sahabat.

Disebutkan bahwa Abu Ubaid dari Ibn Abbas tentang seorang laki-laki yang peroleh penghasilan “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya”. Demikian pula diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah. Hadis tersebut sahih dari Ibn Abbas. Dalam catatan lain bahwa Hurairah mengatakan bahwa Ibn Mas’ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar duapuluh lima (25) dari seribu (1000). Dalam al-Muwat-tho’ Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syaib bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Sebagaimana kita ketahui beliau adalah khalifah dan penguasa umat Islam pada zaman penuh dengan kumpulan sahabat yang terhormat, yang apabila Mu’awiyah melanggar hadis Nabi atau Ijma’ yang dapat dipertangungjawabkan, para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Sedang Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya. Dengan demikian upah (‘ratib) adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang.

Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, dikisahkan pernah menghidupi dirinya dengan menyewakan rumahnya. Karena itu ia berpendapat bahwa seorang muslim yang menyewakan rumahnya dan nilai sewa mencapai nisab, maka ia harus mengeluarkan zakat tanpa perlu menunggu syarat haul (satu tahun). Menyewakan rumah di sini dapat dianalogikan dengan menyewakan tenaga atau keahlian. Sebab, menekuni profesi tertentu pada hakikatnya adalah menyewakan keahlian.

Jadi zakat profesi adalah zakat yang dipungut/diperoleh  dari upah/gaji/honorarium karyawan dan usaha profesional seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, guru, advokat, seniman, penjahit dan lain-lain yang telah mencapai nisab.

 

b.      Legitimasi Doktrinal

Jenis-jenis pendapatan frofesi harus dibayarkan zakatnya berdasarkan beberapa ayat, antara lain; من طيبات ما كسبتم  أنفقوا آمنوا الذين أيها يا (Q.S. Albaqarah:268). Kalimat كسبتم ما bersifat  umum mencakup seluruh penghasilan baik dari perdagangan, gaji maupun profesi lainnya. Berdasarkan ayat ini para ulama menetapkan zakat perniagaan (zakat ‘arudh al-tijarah). Karena itu, sangat relevan dan kontekstual kalau berdasarkan ayat ini juga ditetapkan zakat pendapatan berupa gaji maupun lainnya. Sedangkan barang-barang yang dizakati seperti disebutkan di dalam sunnah tidak lain merupakan praktek faktual yang dilakukan oleh Rasulullah dan kaum muslim generasi awal. Namun barang-barang yang wajib dizakati akan selalu berkembang, sejalan dengan dinamika peradaban muslim baik itu karena efek dari perluasan wilayah Islam  tempo dulu, maupun efek dari kemoderenan jaman.

Ayat tersebut didukung oleh sejumlah hadis, antara lain:

ربع عشر أموالكم هاتوا dan العشر ربع الرقة في . Dengan menggunakan pola induksi terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan seluruh aspek zakat (tujuan, fungsi ritual dan ekonomis zakat) ditambah dengan praktik faktual yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, tanpa mengabaikan kearifan lokal, dalam bingkai mabda’tadhofurul adillah (kolaborasi sejumlah dalil), maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum zakat profesi sama dengan kedudukan hukum zakat mal yang lain. Terlebih bahwa zakat profesi dapat merealisasikan tiga jenis kemaslahatan dalam satu waktu yaitu kemaslahatan ritual (al-masalih al-ruhiyah), kemaslahatan intelektual (al-masalih al-aqliyah), dan kemaslahatan material (al-masalih al-maddiyah). Ketiga jenis kemaslahatan tersebut menjadi elemen pembentukan komunitas masyarakat muhsinin yang diidam-idamkan oleh Islam. 

Wassalam. Allahu a’lam bisshowab.

SebelumnyaJerat-jerat Semantik dalam Alquran SesudahnyaWaqaf Gedung MTs Muhammadiyah

Berita Lainnya

0 Komentar